Beranda | Artikel
Perintah Salaf untuk Bekerja Keras
Selasa, 30 Mei 2023

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary

Perintah Salaf untuk Bekerja Keras ini adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Talbis Iblis. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 2 Dzulqa’dah 1444 H / 22 Mei 2023 M.

Kajian Tentang Perintah Salaf untuk Bekerja Keras

Sebelumnya, kami telah menyampaikan beberapa pandangan dari para Salaf yang mencari rezeki melalui berbagai jenis pekerjaan dan usaha, baik itu menjual jasa, berdagang, berkebun, menjadi tukang kayu, tukang kain, atau bahkan tukang bekam. Mereka memahami arti sebenarnya dari tawakal, bahwa tawakal tidak akan sempurna tanpa usaha. Para Salaf juga bekerja dalam berbagai profesi yang berbeda-beda untuk meraih suatu tujuan. Dalam meraih manfaat itu mereka menempuh sebabnya. Karena tidak ada akibat kalau tidak dijalani sebabnya.

Sekarang, mari kita lanjutkan dengan apa yang ditulis oleh Ibnu Jauzi. Dalam tulisannya, Ibnu Jauzi mengutip perkataan Ibnu Aqil: “Berusaha tidak mengurangi nilai tawakal. Karena upaya untuk menggapai kedudukan para Nabi itu termasuk kekurangan dalam agama.” Perkataan ini harus digaris atasi. Bahwa bagaimanapun ibadah kita tidak mungkin bisa menyamai amal dan ibadah para Nabi. Karena mereka memiliki kedudukan yang istimewa di sisi Allah. Mereka adalah hamba yang maksum, diberikan ilmu dan keistiqamahan, serta dijaga dari dosa dan keburukan.

Oleh karena itu, mustahil bagi kita untuk melebihi atau menyamai kedudukan mereka. Jika ada orang yang berusaha mencapai kedudukan yang melebihi atau menyamai para Nabi, maka kata Ibnu Aqil itu adalah kekurangan dalam agama. Artinya, dia bukan orang yang baik agamanya, karena nyatanya ada juga orang yang berusaha menyaingi ibadah para Nabi.

Sebagai contoh, ada tiga orang yang datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bertanya kepada Aisyah tentang amal yang dilakukan oleh Nabi. Mereka merasa amal mereka sedikit dan ingin menyamai amal Nabi. Salah satu dari mereka berkata bahwa dia akan terus-menerus melakukan shalat tidak tidur, yang lain berkata akan berpuasa terus-menerus tanpa berbuka, dan yang lainnya berkata tidak akan menikah sepanjang hidupnya. Mereka ingin mencapai kedudukan yang sama atau bahkan lebih tinggi daripada Nabi.

Maka ketika Nabi mendengar perkataan itu, beliau berkata:

أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ؟ أَمَا وَاللهِ إِنِّيْ لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّيْ أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ

“Mengapa ada orang yang berkata begini dan begitu? Demi Allah! Sesungguhnya aku ini adalah orang yang paling takut kepada Allah dan yang paling takwa kepada Allah. Namun aku berpuasa dan aku juga berbuka, aku shalat (malam) tapi juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan yang lainnya)

Selanjutnya, ketika ada seseorang yang mengatakan kepada Nabi Musa bahwa orang-orang sedang merencanakan untuk membunuhnya, Nabi Musa tidak hanya bergantung pada tawakal. Meskipun dia memiliki alasan kuat untuk tetap tinggal di Mesir, dia memutuskan untuk pergi meninggalkan negeri tersebut. Nabi Musa menyadari pentingnya melakukan ikhtiar (sebab) dan berusaha untuk menjaga keselamatannya. Bukan mengandalkan iman, kemudian tawakal, kemudian terjadi nanti apa yang tidak diinginkan.

Lihatlah bahwa Nabi Musa saja mengambil sebab, tidak mengandalkan imannya. Pada saat beliau lapar dan perlu menjaga keselamatan diri setelah keluar dari Mesir, maka beliau bekerja selama delapan tahun sebagai pegawai/buruh.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/52948-perintah-salaf-untuk-bekerja-keras/